COPYRIGHT INTERNATIONAL RELATIONS, AMANDIO VIEIRA DA COSTA. All Our Dreams Can Come True, If We Have The Courage To Pursue Them

Friday, February 24, 2012

Gerakan Civil Society Pasca Runtuhnya Rezim Orde Baru


Pasca jatuhnya rezim Soeharto, yang dipelopori oleh gerakan mahasiswa, tepatnya 21 Mei 1998, menaruh harapan besar bagi rakyat Indonesia untuk membangun iklim demokrasi di Nusantara ini. Selama kepemimpinan Soeharto  mereka berada dalam kungkungan rezim otoritarian. Angin segar kebebasan mulai dirasakan oleh rakyat. Di Indonesia, gerakan sosial tak kurang pula gebrakan. Tak terlalu berlebihan pula jika di katakan bahwa gerakan sosial merupakan bagian terpenting serta tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan Indonesia itu sendiri pada dasarnya tidaklah semata-mata muncul dari gerakan bersenjata, tapi juga lewat gerakan sosial yang tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran sejumlah kaum muda waktu, itu akan realitas. Gerakan inilah yang kemudian memaksa Ir Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan sosial pula yang kemudian mengukuhkan semangat kemerdekaan itu dengan melakukan sebuah rapat besar di lapangan Ikada. Gerakan sosial seakan-akan menjadi penyebab utama perubahan indonesia. Orde lama tumbang karena gerakan sosial.
Menurut Bill Moyer dalam bukunya yang berjudul Merencanakan Gerakan, wacana gerakan sosial yang dihadirkan sejak awal merupakan suatu usaha yang menginginkan suatu perubahan. Ia mengartikan perubahan adalah jalang yang paling memungkingkan untuk melakukan perbaikan. Bagi kalangan pengamat politik Indonesia umumnya, tumbangnya pemerintahan Presiden Soeharto pada pertengahan tahun 1998 terasa mengejutkan. Sebenarnya sejak jauh sebelum pemiluh 1997 suara-suara yang mengisyaratkan perlawanan terhadap penguasa mulai terdengar kuat. Hal itu ditunjukan oleh demostrasi mahasiswa sejumlah perguruan tinggi. Selai itu berbagai gerakan sosial juga di lakukan sejumlah ornop (Organisasi Non Pemerintahan/NGO) yang menggugat berbagai kebijakan pemerintah di bidang perburuhan, pertahanan, hukum dan peradilan. Salah satu yang cukup menonjol adalah unjuk rasa ribuan buruh di bawah komando SBSI ( Serikat buruh sejatera Indonesia) yang berbuntut kerusuhan sosial di medan pada tahun 1994. Namun semua itu tidak mampu menggoyahkan pilar kekuasaan Soeharto.

Menjelang pemiluh 1997, wacana politik nasional masih melihat Soeharto sebagai sosok yang sangat kuat, sehingga pencalonanya kembali sebagai Presiden berlansung mulus. Golkar dengan berbagai cara berhasil menang dalm pemiluh dan Soeharto kembali terpilih sebagai presiden RI untuk ke tujuh kalinya. Karena itu krisis moneter mulai mengguncang perekonomian nasional dan protes-protes yang di motori mahasiswa kembali marak sejak akhir tahun 1997, tidak ada pengamat baik di dalam maupun di luar negri yang berani memastikan bagaimana akhir dari pemerintah Presiden Soeharto. Setelah lebih dari tiga puluh tahun bertahan dari berbagai gerakan oposisi, kesediaan Soeharto untuk lengser dari kursu kepresidenan pada tanggal 21 mei 1998 menyusul aksi demostrasi besar-besaran berbagai kalangan terutama mahasiswa dan kelompok-kelompok cendekiawaan, bagaimana pun di luar perkiraan kebanyakan pengamat.


Berbagai fenomena menunjukan bahwa political society berada pada puncak tabiat terburuknya adalah ketika militer tidak bisa lagi berpihak kepada rakyat melainkan kepada negara yang telah mengalami personalisasi tersebut. Karena itu orang berkeyakina bahwa demokratisasi dalam upaya membangun civil society yang kokoh itu secara simplisit harus di ikuti demiliterisme. Gagasan perlunya civil society adalah mengandaikan semua elemen masyarakat mempunyai kekuasaan sendiri yang otonom namun secara akumulatif bisa meredam terjadinya proliferasi kekuasaan alamiah (natural society) dan di satu pihak untuk mengimbangi kekuasaan negara political society di pihak lain. Selama bulan mei 1998 hampir tidak hari dalam program pemberitaan RCTI, khususnya program seputar indonesia, tampa berita mengenai aksi mahasiswa atau peristiwa yang berkaitan dengan aksi mahasiswa.[1]


Antony Giddens dalam bukunya yang berjudul, The Constitution of Society The Outline of The Theory of Structuration, memberikan ulasan yang sangat rinci tentang structure dan agency. Structure diartikan sebagai rules dan resources yang dipakai dalam proses produksi dan reproduksi sosial, sementara agency diartikan sebagai individu yang berbuat. Keduanya mempunyai hubungan yang dialektik. Oleh karena itu, masyarakat dapat melakukan kontrol terhadap negara yang mempunyai kekuasan yang sangat luas, inilah yang oleh Giddens disebut dengan dialektika kendali (dialectic of control). Maka dalam konteks, transisi menuju konslidasi demokrasi, masyarakat dan negara mempunyai peran yang sangat sentral, meskipun kita juga tidak bisa menafikan peran pasar dan civil society.

Al Fred Stepan (1996), juga memberikan istilah, bahwa masyarakat society bisa terbagi menjadi dua kekuatan yaitu civil society dan political society dan sebuah negara mempunyai beberapa elemen yaitu elite politik, birokrat dan militer, untuk mengawal perubahan dari transisi menuju konsolidasi demokrasi. Karena fase ini perlu dicermati secara hati-hati. Tidak mustahil demokrasi yang mulai mekar selama ini akan layu sebelum berkembang, dan kembali pada otoritarianisme atau meminjam istilah Larry Daimond (2003:ix) menyebutnya sebagai otoritarian elektoral dan tidak menutup kemungkinan malah akan melahirkan demokrasi beku (frozen democracies) atau demokrasi tidak solid. Maka, seluruh elemen masyarakat buruh, pelajar, mahasiswa, dosen, NGO, partai politik, Ormas dan lain-lain harus mempunyai komitmen normatif sebagai cita-cita bersama untuk membangun demokrasi yang terkonsolidasi (consolidated democracy). Namun selain itu, elemen di atas menjadi kering jika dianalisa tanpa memperhitungkan pembahasan dasar atas kondisi agama sebagai sebuah sistem kultural yang telah memberikan makna pada eksistensi manusia dan yang telah memberikan pemahaman dan dukungan emosional terhadap penderitaan manusia (Weber dan Malinowski). Tentunya hal itu juga berhubungan dan turut memberikan pengaruh atas lajunya proses demokrasi pasca jatuhnya rezim Orde Baru.[1]

Pada era orde baru dahulu ada fenomena politik yang di sebut golongan putih Golput. Fenomena ini merupakan protes politik dan lebih jauh menghambarkan ketidak patuhan  Civil disobidience simbolik. Selain itu sebagai aksi politik Golput merupakan perlawanan langsung terhadap apa yang dipersefsikan kalangan kritis dalam masyarakat sebagai ketidak adialn secara hukum dan pemerintahan (Suhardono;1997:11). Berarti praktek civil disobedience tidak menolak bangunan sistem ataun pemerintahan secara total, Jadi menjadi Golput bukan berarti menolak sistem ataupun pemerintahan secara total tetapi yang ditolak adalah prilaku yang tidak adil. Maka Golput sebagai Civil disobedience pada dasarnya adalah suatu bentuk tindakan kriminal politis yang di restui karena pungsinya sebagai protes, dengan kesediaan menanggung semua resiku terkena sangsi hukum, para pembangkang hukum ini berharap dapat menawarkan pada sebuah model moral yang pada giliranya akan menghasilkan perubahan-perubahan mendasar,melalui perubahan hukum dan kebijakan publik (public policy).

Perubahan politik yang menggunakan civil disobedience, justru mampu melemparkan Rezim yang sedang memerintah dari kursi kekuasaan, kendati dari perbandingan antar peristiwa sejarah tradisi civil disobedience kian melemah dari waktu kewaktu. Namun manakala masa mulai merasakan bahwa mereka sedang di perintah oleh raja diktator, bahkan tiran,kemungkinan yang paling implikatip dan logis ini bakal menjadi kenyataan (Suhardono;1997:12) dan tidak ada satu kekuatanpun yang mampu membendungnya. Civil disobedience akan tetap menjadi model perlawanan rakyat.

Kepastian semacam itu dengan sangatcerdas di tangkap oleh pemikir dari Jerman yang bernama “Immanuel Kant” dan dengan logos Kant mengatakan adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang untuk melawan penyalah gunaan kekuasaan kendati perlawanan ini di anggap sebagai tindakan kesia-siaan.



Referensi:
  1. Mahasiswa UMM, HUBUNGAN INTERNASIONAL
  2. Budiman, Arief dan Törnquist, Olle 2001, Aktor Demokrasi; Catatan Tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia, Yogyakarta, ISAI.
  3. Adnan, Ricardi S. dan Arvan Pradiansyah,1999, “Gerakan Mahasiswa untuk reformasi”, dalam selo soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi, jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Hal, 133-196.
  4. H. Caidir, Gerakan Sosial, Tulisan Ini Telah Di Publikasikan Pula Di Tabloid Mingguan Mentari Edisi 081/Th II//23 Peb- 1 Maret 200. http://www.chairid.com,
  5. Bill Moyer, Merencanakan Gerakan, Yogyakarta: Pustaka Jogja Mandiri, Hal. V.
  6. Giddens, Anthony, 2004, The Constitution Of Society; The Outline of The Theory of Structuration, alih bahasa Adi Loka Sujono, Malang, Pedati.
  7. Fatah,R. Eef Saifulloh, “Teori Negara dan Negara Orde Baru” Prisma.No 12 tahun XXIII.April.Jakarta: LP3ES.
  8. Hikam Mohammad AS, 1999 “Demokrasi Melalui Civil Society” Pustsaka Hidayah.


No comments:

Post a Comment