COPYRIGHT INTERNATIONAL RELATIONS, AMANDIO VIEIRA DA COSTA. All Our Dreams Can Come True, If We Have The Courage To Pursue Them

Wednesday, February 8, 2012

Mengungkap Keterasingan Manusia Modern Melalui Metode Marxisme

Selama 1843-44, marx tengelam dalam metode ‘kritik-genetikal’ Feuerbachian. Perluasan sistem Feuerbach-kensep dalam alienasi Hegelian dan aplikasinya terhadap agama dalam menyumbang untuk mengekspos rahasia riil Kristianitas-rahasia dimana manusia menciptakan Tuhan di luar harapan, dan pencapaian Human-Spesies sebagai suatu pelarian dari kebutuhan dan dependensi, yang kemudian terjatuh ke dalam dependensi kreasinya, memotivasi dirinya di depan fantasinya sendiri kepada Tuhan yang pasti di perlukan olehnya, dan apa yang mesti dikembalikan kedalam dirinya sendiri.


Dalam Economic philosophical Manuscripts, Marx sekarang berusaha memperlihatkan mekanisme kerja kehidupan ekonomi kepada subjek ekonomi politik kapitalis dan semua masyarakat berdasarkan pada hak milik pribadi, dan pembagian kerja kepada kritik dasar logiko-etis yang membawa “kontradiksi moral, teoretikal, dan praktikal”; dan itu terangkum dalam frasa: “semaking banyak buruh yang memproduksi barang, semakin ia menjadi miskin.” Melalui hak milik pribadi dan pembagian kerja, marx berupaya untuk memisahkan manusia dari alat yang ia butuhkan, yang menjadi milik orang lain, dari produksi kerjanya yang bukan penggunaan bagi dirinya sendiri, dan pada akhirnya di bawah kapitalisme dari kapasitasnya sendiri untuk bekerja, pada periode yang tepat setiap hari dan kemudian produk yang dihasilkanya dijual oleh majikannya. Manusia terpisahkan dan terasing dari prakondisi kerjanya, dari produk kerjanya, dari kekuatan kerjanya, dari humanitasnya sendiri, dari manusia lain, dari masyarakat, dan dari alam. Ia teralienasi dan tereduksi dari dependensi binatang, suatu dependensi yang lebih pervasif secara invinitif dan menakutkan, sejauh di kaitkan dengan kreasi diri sendiri dari suatu kesadaran dan makluk universal yang mampu menguasai jagad raya ( Kamenka:126-7).

Keterasingan atau alienasi Marx merupakan kontinum atau derivasi pemikiran hegel, yang dewasa ini menjadi relevan dipercakapkan bukan dalam dataran kekakuan epistemologi konvensional, melainkan metodologi yang beriorentasi pada antropodisi. Dengan antropodisi, berarti segenap unsur yang mengonstitusi manusia dan kehidupan berada dalam jaring dimana semua unsur yang ada saling mengandaikan, yang bukan mustahil jika menjadikan marxisme menjadi suatu alternatif dalam kegalauan epistemologi dewasa ini. Dengan mempersandingkan keterasingan manusia dengan kerja sebagai mediasi menuju aktualisasi diri yang menjadi hakikat manusia, humanisme Marx tentu tidak dapat begitu saja diabaikan. Sebaliknya, gagasan sentral pemikiran Marx, sebagaimana dituangkanya dalam naskah-naskah paris, menjadi suatu arahan kritis terhadap prestasi ilmu pengetahuan dan teknologi, serta filsafat yang mencapai konpleksitasnya pada post-modernitas dewasa ini.

Orientasi marxistis bertolag dari ancangan antropodisi, yakni pendekatan beriorentasi humanistik yaitu, humanisme yang menjadi komitmen dan latar belakang Marx dalam berkiprah kepada humanitas yang mengusung makna emansipatoris. Orientasi antropodisi disesuaikan dengan tuntutan objektif, dalam pengertian Thomas Kuhn, yaitu epistemologi yang meluncurkan gagasan paradigma baru ilmu pengetahuan yang lahir melalui revolusi ilmu pengetahuan. Inti gagasan Marx tentang kerja dan keterasingan berdasarkan kualitas humanitas sampai dewasa ini tidak ada tandingannya, terutama dalam kaitan kohesif manusia, kerja, dan alienasi masyarakat modern, dan melalui metode marxisme inilah semuanya menjadi suatu keniscayaan.
Konsep alienasi Marx mencakup: pertama, manusia teralienasi dari alam. Kedua, manusia teralienasi dari dirinya sendiri, dari aktivitasnya sendiri. Ketiga, dari “species-being” (dari dirinya [being] sebagai anggota human-species). Keempat, manusia teralienasi dari manusia lain.

Alienasi kerja mengekspresikan hubungan buruh dengan produk dari kerjanya, atau relasi dengan dunua eksternal, terhadap objek alam. Ekspresi hubungan buruh dengan tindakan prduksi dalam proses kerja, yaitu hubungan buruh dengan aktivitasnya sebagai sesuatu yang asing tidak menawarkan kepuasan padanya dalam dan oleh dirinya sendiri, tetapi hanya oleh tindakan menjual kepada seseorang. Ini berarti bahwa bukan aktivitas itu sendiri yang mengakibatkan kepuasan padanya, tetapi suatu hak milik abstraknya sendiri. Marx juga menyebutkan sebagai watak dasar “keterasinan benda (estrangement of thing)” di mana saja, sedangkan yang kedua adalah “self-estrangement”.

Sedangkan alienasi dari species-being adalah relasi dengan konsepsi yang mana objek kerjanya adalah objektivikasi kehidupan spesies manusia.  Duplikasi dirinya tidak hanya dalam kesadaran, secara intelektual, tetapi juga aktif dalam realitas, sehingga ia mengontemplasikan dirinya pada suatu dunia yang diciptakanya. Akan tetapi, alienasi kerja menjadikan “species-being” manusia terjebak dalam sesuatu yang asing terhadapnya, ke dalam suatu cara eksistensi individual.
Alienasi kerja mengasingkan diri manusia dari dirinya sendiri, sebagai alam eksternal dan eksistensi ispiritualnya, “humang being’nya. Watak ketiga termasuk dalam bagia pertama dan kedua, yang menjadi suatu ekspresi mereka dalam istilah hubungan manusia, sehingga jadikan watak keempat sebagaimana di sebutkan di atas. Tetapi, dalam menformulasikan watak ketiga, Marx memperhitungkan pengaruh alienasi kerja-baik alienasi benda (estrangement of thing) atau alienasi diri (self-estrangement) dalam kaitan dengan manusia-kemanusiaan (man-markind) pada umumnya, yaitu alienasi humanitas dalam hal penurunan harga diri melaui proses kapitalistik pada yang keempat, yang dianggap sebagai hubungan manusia dengan orang lain. Sebagaimana yang di katakan oleh Marx: “suatu kenyataan bahwa manusia yang terasingkan dari produk kerjanya, dari aktivitas hidupnya, dari ‘species-being’-nya, adalah bentuk keterasingan manusia dari manusia. Jika manusia di perhadapkan dengan dirinya sendiri, ia di perhadapkan oleh manusia lain.”
Selanjutnya dikatakan: “manusia teralienasi terhadap produk kerjanya dan terhadap dirinya, juga terhadap relasi manusia dengan manusia lain, serta terhadap hubungan manusia lain dan objek kerja. Kenyataanya, proposisi bahwa alam spesies manusia teralienasi dari dirinya berarti bahwa satu manusia teralienasi dari yang lain, sebagaimana setiap orang dari mereka yang terasing dari alam sebagai esensi manusia. Dengan demikian, konsep Marx mencakup manifestasi alienasi manusia dari alam, dari diri sendiri di satu pihak, dan ekspresi dari proses dalam hubungan manusia-kemanusiaan dengan manusia (mankind and man) di pihak lain. Marx juga mengatakan bahwa: “Barang diproduksi buruh dan produksi kerja muncul di hadapanya sebagai sesuatu yang asing, sebagai kekuatan yang independent dari produksinya. Produksi kerja adalah perwujudan kerja dan dimaterialkan sebagai objek. Ia adalah objektivikasi kerja. Realisasi kerja adalah objektivikasinya.”
Selanjutnya dikatakan bahwa: “dalam bidang ekonomi politik, realisasi kerja ini tampil sebagai bentuk hilangnya realitas bagi kaum pekerja; objektivikasi sebagai bentuk kehilangan dan keterbelengguan pada objek; apropriasi sebagai bentuk keterasingan, sebagai alienasi (entrausserung),” dikatakan: “hubungan kausalitas antara kerja dan alienasi menjadi semakin rumit, mengigat begitu hebatnya realisasi kerja yang muncul dalam bentuk kehilangan realitas, sehingga pekerja kehilangn realitas hingga titik di mana ia nyaris mati menderita. Begitu mudahnya objektivikasi muncul sehingga mirip dengan hilangya objek di mana pekerja dipreteli dari objek-objek yang paling ia perlukan tidak hanya untuk hidupnya, melainkan bagi kerjanya. Kerja itu sendiri menjadi objek dan hanya dapat di peroleh melalui usaha keras, melalui pertarungan dan perlawanan yang sengit,  begitu hebatnya penghisapan objek yang tampak sebagai alienasi, sehingga semakin banyak objek yang di produksi oleh pekerja itu, semakin sedikit yang dapat ia miliki, dan semakin ia jatuh di bawah kekuasaan produknya, dibawah modal” (Raines, 2003:156).
Hal yang sama terjadi pada Agama, demikian menurut Marx, bahwa: “semakin orang mrenyerahkan dirinya keada Tuhan, akan semakin sedikit yang tersisa untuk dirinya sendiri. Pekerja meletakan hidupnya dalam objek itu, tetapi kini hidupnya bukan lagi miliknya, melainkan milik objek itu. Karena itulah, semakin besar aktivitasnya, semakin besar keterasingan dirinya. Apapun produk kerjanya, ia tetaplah sendiri. Oleh sebab itu. Semakin besar produknya, semakin ia kehilangan drinya sendiri. Alienasi pekerja dalam produknya tidak berarti bahwa kerjanya menjadi sebuah objek, suatu eksistensi eksternal, akan tetapi bahwa ini berada di luar dirinya, sebagai sesuatu yang asing bagi dirinya, dan bahwa itu akan menjadi kekuatan yang melawan dirinya. Ini berarti kehidupan perubahan menjadi objek yang di lihat sebagai lawan dan sesuatu yang asing (Ibid: 156).
Kondisi buruh dalam sistem kapitalisme tua dewasa ini memanifestasikan alienasi Marx tersebut. Eksploitasi kapitalis terhadap buruh semakin sempurna justru seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, media massa, dan komputer sampai pada tataran ‘dunia maya’ dan hiper-realitas. Dalam kondisi seperti itu, status ontologis dan eksistensial manusia dalam problem alienasi semakin tidak terkontrol.
Dalam paradoks-paradoks globalisasi yang semakin menganonimkan individu, secara tak terelakkan manusia terseret ke dalam kondisi enigmatik yang menyesatkan, terjebak ke dalam labirin dan absurditas hidup, serta terperangkap dalam disorientasi nilai, ke dalam faktum kerapuhan pegangan dan ketiadaan kepastian hidup yang semakin mencekam dewasa ini. Marx pernah mengatakan bahwa: “pekerja tidak dapat menciptakan apapun tampa alam, tampa dunia eksternal yang indriawi.” Itulah sebabnya, Marx mendudukkan manusia sebagai “ gattungswesen”, makluk serba butuh, dan hanya dapat merealisasikan diri dalam alam melalui kehidupan kemasyarakatan. Di katakan bahwa, “dalam materi, kerjanya merealisasikan diri, menjadi aktif, dan ia gunakan hal itu untuk berproduksi. Tetapi, seperti halnya alam yang menyediakan sarana-sarana kehidupan, dalam arti bahwa kerja itu tidak dapat hidup tampa objek yang ia gunakan, maka alam pun menyediakan sarana-sarana hidup dalam arti yang lebih terbatas, yakni subsistensi fisik pekerja itu sendiri.” Situasi ini mengisyaratkan terjalinya keniscayaan inter-relasi antar segenap unsur yang mengostitusikan manusia sebagai makluk sosial, dengan segenap unsur kehidupan dalam tataran kemitraan dan saling mengandaikan. Ditambahkan pula bahwa. “Tampa itu, sipekerja semakin kehilangan jati dirinya dan semakin terseret ke dalam alienasi diri dari kerja dan produknya.
Marx menandaskan bahwa: “semakin pekerja memperoleh dunia eksternal, alam, dan indriawi melalui kerja, semakin ia melucuti dirinya sendiri dari sarana-sarana kehidupan. Menurut Marx, pelucutan ini terjadi dalam dua pengertian: pertama, dunia eksternal yang indriawi semakin lama semakin kurang menjadi objek yang menjadi milik kerjanya, suatu sarana-sarana kehidupan dari kerjanya. Kedua, semakin lama semakin berkurang menjadi sarana-sarana kehidupan dalam pengertian yang lansung; sarana subsistensi pekerja tersebut. Lebih lanjut ditandaskan pula bahwa: “Dalam dua hal ini, kemudian pekerja itu menjadi budak dari objeknya. Pertama, karena ia menerima objek kerja, yaitu dengan menerima pekerjaan. Kedua, yaitu sebagai suatu subjek fisik. Kulminasi perbudakan berarti hanya dengan menjadi pekerja ia bisa terus mempertahankan hidupnya sebagai subjek fisik, dan hanya menjadi subjek fisik saja ia bisa menjadi pekerja (Ibid: 160).
Deskripsi Marx tentang keterasingan mengigatkan kita pada betapa pentingnya untuk mengadakan tilikan epistemologi terhadap kondisi masyarakat gobal dewasa ini, yaitu suatu fenomena yang nyaris membuat kita mengulangi kondisi Eropa Barat pada akhir abad kedelapanbelas, atau masyarakat paska revolusi industri yang di tandai oleh eksploitasi manusia atas manusia dan tentunya dehumanisasi. Dalam Towards a Marxist Psychology, Phill Brown terobsesi meletakan marxisme sebagai metode. Kekuatan marxisme justru terletak pada aktus metode tersebut. Sementara sebab pemahaman terhadap alienasi dan ekonomi-politik dapat mengajari kita bagaimana menginvestigasikan berbagai aspek dunia ini. Kita tidak menempatkan marxisme sebagai ilmu pengetahuan dan atau dogma. Sebagai metode, marxisme adalah kebalikan dari ancangan realitas biasa. Tepat dikatakan demikian, mengingat marxisme adalah metode mengejawantahkan penjungkirbalikan masyarakat kelas. Marxisme menempatkan, ‘Human Being’ sebagai makluk aktif, yang dapat mengubah dunia, sebagai suatu ancangan baru (Brown, 974:15-16).
Marxisme sebagai metode dan bukan sebagai dogmatik, juga dianjurkan oleh penafsir sohor marxisme, yaitu kemenka dan Luckack. Menurutnya, marxisme dapat menjadi terapeutik untuk mengungkapkan berbagai perspektif dan poli-makna kondisi objektif manusia modern dalam bingkai globalisasi; pemecahan problem filosofis secara aktual dan menyegarkan, melalui pengungkapan potensi manusia. Menampilkan suatu makna emansipatoris dalam bingkai ‘harmonisasi’ dalam keterbukaan global. Maksim Marx tentang alienasi dari pekerjaan, dari diri sendiri, alienasi sosial, dan alienasi religius menjadi suatu menjadi suatu percakapan epistemoligis yang menarik dan menantang. Tampa harus terjebak dalam logosentrisme dan meta-narasi, sebagaimana yang telah diperingatkan para tokoh postmodernisme dewasa ini, gagasan humanisme Marx barangkali tepat dijadikan sebagai fondasi bagi kajian alternatif menuju penyingkapan ideologi terselubung globalisasi, yaitu suatu ideologi yang sarat dengan eksploitasi kapitalistik canggih dan tak terbantahkan. Ideologi ini acap kali dipersepsikan sebagai bentuk yang tak terelakkan dari perkembangan kapitalisme tua, globalisasi abad kedua puluh satu.
Mungkinkah suatu epistemologi minus aposteosis terhadap tradisi ancangan positivistik mampu mengembuskan nafas baru bagi kemandegan epistemologi postmodernitas? Pertanyaan itu tampak penting untuk di jawab dan disiasati. Karena pemikiran Marx, seperti yang tertorehkan dalam karya-karya masa mudanya, tetap menantang untuk diwacanakan dalam tataran epistemologi.
Keterasingan manusia modern dalam bentuk baru dapat dipahami dengan merujuk kepada gagasan humanisme Marx melalui penciptaan paradigma baru tampa terjebak pada kekakuan logosentrisme yang acap kali menyesatkan, dan itu pastinya mejadi ancaman lansung terhadap [ikhtiar] pengungkapan potensi tersembunyi manusia, terutama dalam cahaya aktualisasi diri lewat wacana epistemologi.        
                                                              
                     
Referensi:
Dr.Singkop Boas Boangmanalau, MA, MARX Dostoievsky Nietzsche (menggugat Teodisi & Merenkonstruksi Antopodisi), Jl.Anggrek 97 A – 97 B Sambilegi Lor Maguwoharjo, Depok, Sleman, Jogjakarta, Penerbit AR-RUZZ MEDIA, 2008.

                                                                                                                        




No comments:

Post a Comment